Selasa, 08 Februari 2011

MENYIKAPI MASALAH


Sahabat fillah, dalam mengarungi kehidupan ini, adakalanya kita dihadapkan pada badai kehidupan. Ada hal yang dapat kita ambil pelajaran dari seekor rajawali.
rajawali mampu terbang tinggi dengan melewati angin yang kencang dan badai menerpanya. Apakah sahabat tau apa yang dilakukan rajawali saat badai menghampirinya? Ada hal yang menarik disini yang dapat kita pelajari.
Rajawali akan terbang ke tempat yang tinggi dan menunggu angin dan badai sambil membuka lebar-lebar sayapnya. Ketika badai datang, maka angin akan mengambil dan mengangkat tubuh elang ke atas badai. Sementara badai mengamuk di bawah, Rajawali ini melonjak di atasnya.
Rajawali tidak luput badai. Ini adalah cara sederhana untuk memanfaatkan badai untuk mengangkat tubuhnya lebih tinggi. Rajawali terbang tinggi bersama angin yang membawa badai.
Ketika badai kehidupan datang kepada kita – dan kita semua akan mengalami
seperti yang Rajawali alami – kita dapat naik di masalah dengan menetapkan pikiran kita dan keyakinan kita bahwa kita akan melewati masalah itu. Badai tidak harus kita atasi. Tapi kita punya pilihan untuk memanfaatkan masalah untuk meningkatkan kualitas kita.

Bimbingan dan Konseling SMP Islam Dian Didaktika: 10 Kualitas Pribadi yang Disukai

Bimbingan dan Konseling SMP Islam Dian Didaktika: 10 Kualitas Pribadi yang Disukai

10 Kualitas Pribadi yang Disukai



ketulusan

Ketulusan menempati peringkat pertama sebagai sifat yang paling disukai oleh semua orang. Ketulusan membuat orang lain merasa aman dan dihargai karena yakin tidak akan dibodohi atau dibohongi. Orang yang tulus selalu mengatakan kebenaran, tidak suka mengada-ada, pura- pura, mencari-cari alasan atau memutarbalikkan fakta. Prinsipnya “Ya diatas Ya dan Tidak diatas Tidak”. Tentu akan lebih ideal bila ketulusan yang selembut merpati itu diimbangi dengan kecerdikan seekor ular. Dengan begitu, ketulusan tidak menjadi keluguan yang bisa merugikan diri sendiri.

Kerendahan Hati

Berbeda dengan rendah diri yang merupakan kelemahan, kerendah hatian justru mengungkapkan kekuatan. Hanya orang yang kuat jiwanya yang bisa bersikap rendah hati. Ia seperti padi yang semakin berisi semakin menunduk. Orang
yang rendah hati bisa mengakui dan menghargai keunggulan orang lain. Ia bisa
membuat orang yang diatasnya merasa oke dan membuat orang yang di bawahnya
tidak merasa minder.

Kesetiaan

Kesetiaan sudah menjadi barang langka & sangat tinggi harganya. Orang yang setia selalu bisa dipercaya dan diandalkan. Dia selalu menepati janji, punya komitmen yang kuat, rela berkorban dan tidak suka berkhianat.

Positive Thinking

Orang yang bersikap positif (positive thinking) selalu berusaha melihat segala sesuatu dari kacamata positif, bahkan dalam situasi yang buruk sekalipun. Dia lebih suka membicarakan kebaikan daripada keburukan orang lain, lebih suka bicara mengenai harapan daripada keputusasaan, lebih suka mencari solusi daripada frustasi, lebih suka memuji daripada mengecam, dan sebagainya.

Keceriaan



Karena tidak semua orang dikaruniai temperamen ceria, maka keceriaan tidak harus diartikan ekspresi wajah dan tubuh tapi sikap hati. Orang yang ceria adalah orang yang bisa menikmati hidup, tidak suka mengeluh dan selalu berusaha meraih kegembiraan. Dia bisa mentertawakan situasi, orang lain, juga dirinya sendiri. Dia punya potensi untuk menghibur dan mendorong semangat orang lain.

Bertanggung jawab

Orang yang bertanggung jawab akan melaksanakan kewajibannya dengan sungguh-sungguh. Kalau melakukan kesalahan, dia berani mengakuinya. Ketika mengalami kegagalan, dia tidak akan mencari kambing hitam untuk disalahkan. Bahkan kalau dia merasa kecewa dan sakit hati, dia tidak akan menyalahkan siapapun. Dia menyadari bahwa dirinya sendirilah yang bertanggung jawab atas apapun yang dialami dan dirasakannya.

Percaya Diri

Rasa percaya diri memungkinkan seseorang menerima dirinya sebagaimana adanya, menghargai dirinya dan menghargai orang lain. Orang yang percaya diri mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan dan situasi yang baru. Dia tahu apa yang harus dilakukannya dan melakukannya dengan baik.

Kebesaran Jiwa

Kebesaran jiwa dapat dilihat dari kemampuan seseorang memaafkan orang lain.
Orang yang berjiwa besar tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh rasa benci dan permusuhan. Ketika menghadapi masa- masa sukar dia tetap tegar, tidak membiarkan dirinya hanyut dalam kesedihan dan keputusasaan.

Easy Going

Orang yang easy going menganggap hidup ini ringan. Dia tidak suka membesar-besarkan masalah kecil. Bahkan berusaha mengecilkan masalah-masalah besar. Dia tidak suka mengungkit masa lalu dan tidak mau khawatir dengan masa depan. Dia tidak mau pusing dan stress dengan masalah-masalah yang berada di luar kontrolnya.

Empati

Empati adalah sifat yang sangat mengagumkan. Orang yang berempati bukan saja pendengar yang baik tapi juga bisa menempatkan diri pada posisi orang lain. Ketika terjadi konflik dia selalu mencari jalan keluar terbaik bagi kedua belah pihak, tidak suka memaksakan pendapat dan kehendaknya sendiri. Dia selalu berusaha memahami dan mengerti orang lain.

Artikel dikutip dari Kartu Pintar produksi Visi Victory Bandung

MENJADI GURU

Menjadi guru, bukanlah pekerjaan mudah. Didalamnya, dituntut pengabdian, dan
juga ketekunan. Harus ada pula kesabaran, dan welas asih dalam menyampaikan
pelajaran. Sebab, sejatinya, guru bukan hanya mendidik, tapi juga mengajarkan.
Hanya orang-orang tertentu saja yang mampu menjalankannya.
Menjadi guru juga bukan sesuatu yang gampang. Apalagi, menjadi guru bagi
anak-anak yang mempunyai “keistimewaan”. Dan saya, merasa beruntung sekali dapat
menjadi guru mereka, walau cuma dalam beberapa jam saja. Ada kenikmatan
tersendiri, berada di tengah anak-anak dengan latar belakang Cerebral Palsy
(sindroma gangguan otak belakang).
Suatu ketika, saya diminta untuk mendampingi seorang guru, di sebuah kelas
khusus bagi penyandang cacat. Kelas itu, disebut dengan kelas persiapan, sebuah
kelas yang berada dalam tingkatan awal di YPAC Jakarta. Lazimnya, anak-anak
disana berumur antara 9-12 tahun, tapi kemampuan mereka setara dengan anak
berusia 4-5 tahun, atau kelas 0 kecil.
Saat hadir disana, kelas tampak ramai. Mereka rupanya sedang bermain susun
bentuk dan warna. Ada teriak-teriakan ganjil yang parau, dan hentakan-hentakan
kepala yang konstan dari mereka. Ada pula tangan-tangan yang kaku, yang sedang
menyusun keping-keping diagram. Disana-sini terserak mainan kayu dan plastik.
Riuh. Bangku-bangku khusus berderak-derak, bergesek dengan kursi roda sebagian
anak yang beradu dengan lantai.
Saya merasa canggung dengan semua itu. Namun, perasaan itu hilang, saat melihat
seorang guru yang tampak begitu telaten menemani anak-anak disana. “Mari masuk,
duduk sini dekat Si Abang, dia makin pinter lho bikin huruf,” begitu panggilnya
kepada saya. Saya berjalan, melewati anak-anak yang masih sibuk dengan tugas
mereka. Ah benar saja, si Abang, anak berusia 11 tahun yang mengalami Cerebral
Palsy dengan pembesaran kepala itu, tampak tersenyum kepada saya. Badannya
melonjak-lonjak, tangannya memanggil-manggil seakan ingin pamer dengan
kepandaiannya menyusun huruf.
Subhanallah, si Abang kembali melonjak-lonjak. Saya kaget. Saya tersenyum. Dia
tergelak tertawa. Tak lama, kami pun mulai akrab. Dia tak malu lagi dibantu
menyusun angka dan huruf. Susun-tempel-susun-tempel, begitu yang kami lakukan.
Ah, saya mulai menikmati pekerjaan ini. Dia pun kini tampak bergayut di tangan
saya. Tanpa terasa, saya mengelus kepalanya dan mendekatkannya ke dada. Terasa
damai dan hangat.
Sementara di sudut lain, sang Ibu guru tetap sabar sekali menemani semua anak
disana. Dituntunnya tangan anak-anak itu untuk meniti susunan-susunan gambar.
Dibimbingnya setiap jemari dengan tekun, sambil sesekali mengajak mereka
tersenyum. Tangannya tak henti mengusap lembut ujung-ujung jemari lemah itu.
Namun, tak pernah ada keluh, dan marah yang saya dengar.
Waktu berjalan begitu cepat. Dan kini, waktunya untuk pulang. Setelah
membereskan beberapa permainan, anak-anak pun bersiap di bangku masing-masing.
Dduh, damai sekali melihat anak-anak itu bersiap dengan posisi serapih-rapihnya.
Tangan yang bersedekap diatas meja, dan tatapan polos kearah depan, saya yakin,
membuat setiap orang tersenyum. Ibu guru pun mulai memimpin doa, memimpin setiap
anak untuk mengatupkan mata dan memanjatkan harap kepada Tuhan.
Damai. Damai sekali mata-mata yang mengatup itu. Teduh. Teduh sekali melihat
mata mereka semua terpejam. Empat jam sudah saya bersama “malaikat-malaikat”
kecil itu. Lelah dan penat yang saya rasakan, tampak tak berarti dibanding
dengan pengalaman batin yang saya alami. Kini, mereka bergerak, berbaris menuju
pintu keluar. Tampak satu persatu kursi roda bergerak menuju ke arah saya.
Ddduh, ada apa ini?
Lagi-lagi saya terharu. Setibanya di depan saya, mereka semua terdiam,
mengisyaratkan untuk mencium tangan. Ya, mereka mencium tangan saya, sambil
berkata, “Selamat siang Pak Guru..” Ah, perkataan yang tulus yang membuat saya
melambung. Pak guru…Pak Guru, begitu ucap mereka satu persatu. Kursi roda
mereka berderak-derak setiap kali mereka mengayuhnya menuju ke arah saya.
Derak-derak itu kembali membuat saya terharu, membayangkan usaha mereka untuk
sekedar mencium tangan saya.
Anak yang terakhir telah mencium tangan saya. Kini, tatapan saya bergerak ke
samping, ke arah punggung anak-anak yang berjalan ke pintu keluar. Dalam diam
saya berucap, “..selamat jalan anak-anak, selamat jalan malaikat-malaikat
kecilku…” Saya membiarkan airmata yang menetes di sela-sela kelopak. Saya
biarkan bulir itu jatuh, untuk melukiskan perasaan haru dan bangga saya. Bangga
kepada perjuangan mereka, dan juga haru pada semangat yang mereka punya.
***
Teman, menjadi guru bukan pekerjaan mentereng. Menjadi guru juga bukan pekerjaan
yang gemerlap. Tak ada kerlap-kerlip lampu sorot yang memancar, juga
pendar-pendar cahaya setiap kali guru-guru itu sedang membaktikan diri. Sebab
mereka memang bukan para pesohor, bukan pula bintang panggung.
Namun, ada sesuatu yang mulia disana. Pada guru lah ada kerlap-kerlip cahaya
kebajikan dalam setiap nilai yang mereka ajarkan. Lewat guru lah memancar
pendar-pendar sinar keikhlasan dan ketulusan pada kerja yang mereka lakukan.
Merekalah sumber cahaya-cahaya itu, yang menyinari setiap hati anak-anak didik
mereka.
Dari gurulah kita belajar mengeja kata dan kalimat. Pada gurulah kita belajar
lamat-lamat bahasa dunia. Lewat guru, kita belajar budi pekerti, belajar
mengasah hati, dan menyelami nurani. Lewat guru pula kita mengerti tentang
banyak hal-hal yang tak kita pahami sebelumnya. Tak berlebihankah jika kita
menyebutnya sebagai pekerjaan yang mulia?
Teman, jika ingin merasakan pengalaman batin yang berbeda, cobalah menjadi guru.
Rasakan kenikmatan saat setiap anak-anak itu memanggil Anda dengan sebutan itu,
dan biarkan mata penuh perhatian itu memenuhi hati Anda. Ada sesuatu yang
berbeda disana. Cobalah. Rasakan.

Read more: http://www.resensi.net/guru-dan-semangatnya/2009/06/#ixzz1DQ729Odj

SETAN ATAU MALAIKAT

Mahluk yang paling menakjubkan adalah manusia, karena dia bisa memilih untuk menjadi “setan atau malaikat”.
–John Scheffer-

Dari pinggir kaca nako, di antara celah kain gorden, saya melihat lelaki itu mondar-mandir di depan rumah. Matanya berkali-kali melihat ke rumah saya. Tangannya yang dimasukkan ke saku celana, sesekali mengelap keringat di keningnya.

Dada saya berdebar menyaksikannya. Apa maksud remaja yang bisa jadi umurnya tak jauh dengan anak sulung saya yang baru kelas 2 SMU itu? Melihat tingkah lakunya yang gelisah, tidakkah dia punya maksud buruk dengan keluarga saya? Mau merampok? Bukankah sekarang ini orang merampok tidak lagi mengenal waktu? Siang hari saat orang-orang lalu-lalang pun penodong bisa beraksi, seperti yang banyak diberitakan koran. Atau dia punya masalah dengan Yudi, anak saya?

Kenakalan remaja saat ini tidak lagi enteng. Tawuran telah menjadikan puluhan remaja meninggal. Saya berdoa semoga lamunan itu salah semua. Tapi mengingat peristiwa buruk itu bisa saja terjadi, saya mengunci seluruh pintu dan jendela rumah. Di rumah ini, pukul sepuluh pagi seperti ini, saya hanya seorang diri. Kang Yayan, suami saya, ke kantor. Yudi sekolah, Yuni yang sekolah sore pergi les Inggris, dan Bi Nia sudah seminggu tidak masuk.

Jadi kalau lelaki yang selalu memperhatikan rumah saya itu menodong, saya bisa apa? Pintu pagar rumah memang terbuka. Siapa saja bisa masuk.

Tapi mengapa anak muda itu tidak juga masuk? Tidakkah dia menunggu sampai tidak ada orang yang memergoki? Saya sedikit lega saat anak muda itu berdiri di samping tiang telepon. Saya punya pikiran lain. Mungkin dia sedang menunggu seseorang, pacarnya, temannya, adiknya, atau siapa saja yang janjian untuk bertemu di tiang telepon itu. Saya memang tidak mesti berburuk sangka seperti tadi. Tapi dizaman ini, dengan peristiwa-peristiwa buruk, tenggang rasa yang semakin menghilang, tidakkah rasa curiga lebih baik daripada lengah?

Saya masih tidak beranjak dari persembunyian, di antara kain gorden, di samping kaca nako. Saya masih was-was karena anak muda itu sesekali masih melihat ke rumah. Apa maksudnya? Ah, bukankah banyak pertanyaan di dunia ini yang tidak ada jawabannya.

Terlintas di pikiran saya untuk menelepon tetangga. Tapi saya takut jadi ramai. Bisa-bisa penduduk se-kompleks mendatangi anak muda itu. Iya kalau anak itu ditanya-tanya secara baik, coba kalau belum apa-apa ada yang memukul.

Tiba-tiba anak muda itu membalikkan badan dan masuk ke halaman rumah. Debaran jantung saya mengencang kembali. Saya memang mengidap penyakit jantung. Tekad saya untuk menelepon tetangga sudah bulat, tapi kaki saya tidak bisa melangkah. Apalagi begitu anak muda itu mendekat, saya ingat, saya pernah melihatnya dan punya pengalaman buruk dengannya. Tapi anak muda itu tidak lama di teras rumah. Dia hanya memasukkan sesuatu ke celah di atas pintu dan bergegas pergi. Saya masih belum bisa mengambil benda itu karena kaki saya masih lemas.

Saya pernah melihat anak muda yang gelisah itu di jembatan penyeberangan, entah seminggu atau dua minggu yang lalu. Saya pulang membeli bumbu kue waktu itu. Tiba-tiba di atas jembatan penyeberangan, saya ada yang menabrak, saya hampir jatuh. Si penabrak yang tidak lain adalah anak muda yang gelisah dan mondar-mandir di depan rumah itu, meminta maaf dan bergegas mendahului saya. Saya jengkel, apalagi begitu sampai di rumah saya tahu dompet yang disimpan di kantong plastik, disatukan dengan bumbu kue, telah raib.

Dan hari ini, lelaki yang gelisah dan si penabrak yang mencopet itu, mengembalikan dompet saya lewat celah di atas pintu. Setelah saya periksa, uang tiga ratus ribu lebih, cincin emas yang selalu saya simpan di dompet bila bepergian, dan surat-surat penting, tidak ada yang berkurang.

Lama saya melihat dompet itu dan melamun. Seperti dalam dongeng. Seorang anak muda yang gelisah, yang siapa pun saya pikir akan mencurigainya, dalam situasi perekonomian yang morat-marit seperti ini, mengembalikan uang yang telah digenggamnya. Bukankah itu ajaib, seperti dalam dongeng. Atau hidup ini memang tak lebih dari sebuah dongengan?

Bersama dompet yang dimasukkan ke kantong plastik hitam itu saya menemukan surat yang dilipat tidak rapi. Saya baca surat yang berhari-hari kemudian tidak lepas dari pikiran dan hati saya itu. Isinya seperti ini:

—–

“Ibu yang baik…, maafkan saya telah mengambil dompet Ibu. Tadinya saya mau mengembalikan dompet Ibu saja, tapi saya tidak punya tempat untuk mengadu, maka saya tulis surat ini, semoga Ibu mau membacanya.

Sudah tiga bulan saya berhenti sekolah. Bapak saya di-PHK dan tidak mampu membayar uang SPP yang berbulan-bulan sudah nunggak, membeli alat-alat sekolah dan memberi ongkos. Karena kemampuan keluarga yang minim itu saya berpikir tidak apa-apa saya sekolah sampai kelas 2 STM saja. Tapi yang membuat saya sakit hati, Bapak kemudian sering mabuk dan judi buntut yang beredar sembunyi-sembunyi itu.

Adik saya yang tiga orang, semuanya keluar sekolah. Emak berjualan goreng-gorengan yang dititipkan di warung-warung. Adik-adik saya membantu mengantarkannya. Saya berjualan koran, membantu-bantu untuk beli beras.

Saya sadar, kalau keadaan seperti ini, saya harus berjuang lebih keras. Saya mau melakukannya. Dari pagi sampai malam saya bekerja. Tidak saja jualan koran, saya juga membantu nyuci piring di warung nasi dan kadang (sambil hiburan) saya ngamen. Tapi uang yang pas-pasan itu (Emak sering gagal belajar menabung dan saya maklum), masih juga diminta Bapak untuk memasang judi kupon gelap. Bilangnya nanti juga diganti kalau angka tebakannya tepat. Selama ini belum pernah tebakan Bapak tepat. Lagi pula Emak yang taat beribadah itu tidak akan mau menerima uang dari hasil judi, saya yakin itu.

Ketika Bapak semakin sering meminta uang kepada Emak, kadang sambil marah-marah dan memukul, saya tidak kuat untuk diam. Saya mengusir Bapak. Dan begitu Bapak memukul, saya membalasnya sampai Bapak terjatuh-jatuh. Emak memarahi saya sebagai anak laknat. Saya sakit hati. Saya bingung. Mesti bagaimana saya?

Saat Emak sakit dan Bapak semakin menjadi dengan judi buntutnya, sakit hati saya semakin menggumpal, tapi saya tidak tahu sakit hati oleh siapa. Hanya untuk membawa Emak ke dokter saja saya tidak sanggup. Bapak yang semakin sering tidur entah di mana, tidak perduli. Hampir saya memukulnya lagi.

Di jalan, saat saya jualan koran, saya sering merasa punya dendam yang besar tapi tidak tahu dendam oleh siapa dan karena apa. Emak tidak bisa ke dokter. Tapi orang lain bisa dengan mobil mewah melenggang begitu saja di depan saya, sesekali bertelepon dengan handphone. Dan di seberang stopan itu, di warung jajan bertingkat, orang-orang mengeluarkan ratusan ribu untuk sekali makan.

Maka tekad saya, Emak harus ke dokter. Karena dari jualan koran tidak cukup, saya merencanakan untuk mencopet. Berhari-hari saya mengikuti bus kota, tapi saya tidak pernah berani menggerayangi saku orang. Keringat dingin malah membasahi baju. Saya gagal jadi pencopet.

Dan begitu saya melihat orang-orang belanja di toko, saya melihat Ibu memasukkan dompet ke kantong plastik. Maka saya ikuti Ibu. Di atas jembatan penyeberangan, saya pura-pura menabrak Ibu dan cepat mengambil dompet. Saya gembira ketika mendapatkan uang 300 ribu lebih.

Saya segera mendatangi Emak dan mengajaknya ke dokter. Tapi Ibu…, Emak malah menatap saya tajam. Dia menanyakan, dari mana saya dapat uang. Saya sebenarnya ingin mengatakan bahwa itu tabungan saya, atau meminjam dari teman. Tapi saya tidak bisa berbohong. Saya mengatakan sejujurnya, Emak mengalihkan pandangannya begitu saya selesai bercerita.

Di pipi keriputnya mengalir butir-butir air. Emak menangis. Ibu…, tidak pernah saya merasakan kebingungan seperti ini. Saya ingin berteriak. Sekeras-kerasnya. Sepuas-puasnya. Dengan uang 300 ribu lebih sebenarnya saya bisa makan-makan, mabuk, hura-hura. Tidak apa saya jadi pencuri. Tidak perduli dengan Ibu, dengan orang-orang yang kehilangan. Karena orang-orang pun tidak perduli kepada saya. Tapi saya tidak bisa melakukannya. Saya harus mengembalikan dompet Ibu. Maaf.”

—–

Surat tanpa tanda tangan itu berulang kali saya baca. Berhari-hari saya mencari-cari anak muda yang bingung dan gelisah itu. Di setiap stopan tempat puluhan anak-anak berdagang dan mengamen. Dalam bus-bus kota. Di taman-taman. Tapi anak muda itu tidak pernah kelihatan lagi. Siapapun yang berada di stopan, tidak mengenal anak muda itu ketika saya menanyakannya.

Lelah mencari, di bawah pohon rindang, saya membaca dan membaca lagi surat dari pencopet itu. Surat sederhana itu membuat saya tidak tenang. Ada sesuatu yang mempengaruhi pikiran dan perasaan saya. Saya tidak lagi silau dengan segala kemewahan. Ketika Kang Yayan membawa hadiah-hadiah istimewa sepulang kunjungannya ke luar kota, saya tidak segembira biasanya.Saya malah mengusulkan oleh-oleh yang biasa saja.

Kang Yayan dan kedua anak saya mungkin aneh dengan sikap saya akhir-akhir ini. Tapi mau bagaimana, hati saya tidak bisa lagi menikmati kemewahan. Tidak ada lagi keinginan saya untuk makan di tempat-tempat yang harganya ratusan ribu sekali makan, baju-baju merk terkenal seharga jutaan, dan sebagainya.

Saya menolaknya meski Kang Yayan bilang tidak apa sekali-sekali. Saat saya ulang tahun, Kang Yayan menawarkan untuk merayakan di mana saja. Tapi saya ingin memasak di rumah, membuat makanan, dengan tangan saya sendiri. Dan siangnya, dengan dibantu Bi Nia, lebih seratus bungkus nasi saya bikin. Diantar Kang Yayan dan kedua anak saya, nasi-nasi bungkus dibagikan kepada para pengemis, para pedagang asongan dan pengamen yang banyak di setiap stopan.

Di stopan terakhir yang kami kunjungi, saya mengajak Kang Yayan dan kedua anak saya untuk makan bersama. Diam-diam air mata mengalir dimata saya.

Yuni menghampiri saya dan bilang, “Mama, saya bangga jadi anak Mama.” Dan saya ingin menjadi Mama bagi ribuan anak-anak lainnya.

Sumber: Unknown (Tidak Diketahui)

Read more: http://www.resensi.net/setan-atau-malaikat/2009/02/#ixzz1DQ6LvQpM

Bimbingan dan Konseling SMP Islam Dian Didaktika: Mematematikakan Umur Langit & Bumi

Bimbingan dan Konseling SMP Islam Dian Didaktika: Mematematikakan Umur Langit & Bumi

Mematematikakan Umur Langit & Bumi

Ir. Rony Ardiansyah, MT, IP-U.
Peminat Sains Qur’an/Dosen Pasca Sarjana Teknik Sipil UIR



Teknologi teleskop ruang angkasa yang paling modern seperti teleskop Hubble atau Mount Polamor di Amerika Serikat (AS), baru mampu mengamati bintang sejauh 14 miliar tahun perjalanan cahaya dari bumi. Itu artinya cahaya bintang tersebut telah mengadakan perjalanan selama 14 miliar tahun ke bumi untuk bisa terlihat. Bisa jadi bintang tersebut sekarang sudah meledak atau mati. Sedangkan 1 tahun perjalanan cahaya sama dengan jarak sejauh 10 triliun km, sebab kecepatan cahaya mencapai 300 ribu km per detik. Sementara teknologi ruang angkasa pada abad 21 ini baru mampu mencapai planet Saturnus yang berjarak 1 miliar km dari bumi, dan itupun memerlukan waktu perjalanan 7 tahun seperti yang dilakukan pesawat AS, Voyager 2.
Kata bumi dan langit muncul secara bersamaan di dalam 178 ayat Al-Quran. Uniknya, dari 178 ayat tersebut, 175 ayat menggunakan susunan atau urutan langit dan bumi, sedangkan sisanya yang tiga ayat dengan redaksi sebaliknya, yakni bumi dan langit. Kemudian, dari 178 ayat tersebut, 46 di antaranya terkait atau dihubungkan dengan kata penciptaan (khalaqa) dengan rincian 45 ayat menyebutkan penciptaan langit dan bumi (dengan beberapa variasinya) dan hanya satu ayat yang menyebut penciptaan bumi dan langit.
Mengapa Allah menyisakan satu redaksional penciptaan bumi dan langit, tidak totalitas atau seluruhnya menggunakan redaksional penciptaan langit dan bumi saja? Atau, keduanya muncul dalam jumlah yang sebanding di sekitar separuh-separuh, bukan dalam perbandingan ekstrem 45:1. Mengapa demikian? Ada rahasia apa yang dapat digali dari perbedaan redaksional tersebut? Apakah langit jauh lebih luas dari permukaan bumi? Inilah PR (kalau disekolah dulu; pekerjaan rumah) yang diberikan oleh Agus Purwanto, D.Sc. seorang Doktor bidang fisika lulusan Universitas Hirosima Jepang, dalam bukunya Ayat-Ayat Semesta.
Urutan penyebutan kata langit dan bumi tersebut menunjukkan urutan penciptaan alam semesta. Kenyataannya memang langit tercipta terlebih dahulu, baru kurang lebih sembilan miliar tahun kemudian bumi tercipta, yang merupakan bagian dari trilliunan planet yang tersebar di langit.
Dalam ayat-ayat seberikut ini Allah Swt menjelaskan tahap atau masa penciptaan langit dan bumi; Allah-lah yang menciptkan langit dan bumi dan apa yang ada di antaranya dalam enam masa, kemudian……….(QS Al-Sajdah 32:4); Katakanlah: Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada yang menciptkan bumi dalam dua masa dan ………(QS Fushsilat 41:9).
Dengan menggabungkan informasi di dalam dua ayat tersebut dan data sains tentang umur langit dan bumi, dapatkah kita menghasilkan sebuah analisis tentang umur langit? Bila kita mengetahui umur bumi secara tepat, kita dapat mengetahui umur langit dengan perhitungan mematematikakan umur langit dan bumi. Ir. Agus Haryo Sudarmojo seorang pakar Geologi, Dai dan Presiden Direktur Murakabi Agung Wijaya dalam bukunya: Menyibak Rahasia Sains Bumi dalam Al-Quran. Menganalogikan hitungan kedua ayat tersebut sebagai berikut.
Allah Swt, menciptakan langit dan bumi dalam enam masa (QS Al-Sajdah 32:4), serta menciptakan bumi dalam dua masa (QS Fushsilat 41:9). Berdasarkan meteorit tertua yang ditemukan di bumi, para ahli geologi menyatakan bahwa umur bumi adalah 4,56 miliar tahun. Perbandingan umur bumi dan langit 2 : 6 = 1 : 3. Umur langit dapat kita cari dari perhitungan 4,56 M x 3 = 13,68 M (miliar) tahun atau 4,56 M : 2 = 2,28 Miliar tahun. Jadi, umur alam semesta sejak pemisahan langit dan bumi versi Al-Quran dapat dihitung sebagai berikut: 6 x 2,28 M = 13,68 miliar tahun.
Terbukti versi sains mengatakan bahwa umur alam semesta sejak peristiwa Big Bang adalah 13,7 miliar tahun. Subhanallah, apakah ini suatu kebetulan?
Terdapat selisih sekitar 20 juta tahun antara penghitungan versi sains-Al Quran dan sains murni (Big Bang theory). Namun, perbedaan ini dapat ditolerans dalam perhitungan kosmologi.
Berdasarkan penghitungan sederhana di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa Peristiwa Big Bang jelas terkait dengan kehadiran Planet Bumi yang tercipta kurang lebih sembilan miliar tahun setelah ledakan dahsyat kosmis tersebut. Ternyata firman-firman Allah Swt dalam Al-Quran menjelaskan umur langit dan bumi secara akurat.
Pertanyaan, mengapa Allah Swt tidak pernah menyandingkan penyebut langit dan matahari, langit dan bulan, atau langit dan galaksi? Demikian juga, mengapa di dalam Al-Quran tidak ada surah yang bernama Langit atau Bumi? Padahal, langit dan bumi adalah benda kosmis yang dapat dikatakan paling penting. Ternyata kata langit (as-sama’) dan bumi (al-ardh) tersebar di dalam surah-surah yang dinamai dengan benda-benda konsmis lainya, seperti Surah Al-Syams (Matahari), Al-Qamar(Bulan), Al-Najm(Bintang), dan Al-Buruj(Galaksi).
Jika kita memperhatikan perjalanan Cahaya Bintang yang spektakuler di atas. Menelaah Planet Bumi secara lebih mendalam, bagaimana terciptanya, waktu munculnya, posisinya di dalam tata surya, dan keseimbangan semua unsur pendukung kehidupan di dalamnya. Niscaya kita akan semakin yakin akan keberadaan Sang Pencipta Yang Mahacerdas. Allah Akbar……… Allah Akbar……….. Allah Akbar………..***

Template by : kendhin x-template.blogspot.com