Minggu, 04 Juli 2010

BK dan MPMBS

Oleh : Drs. Akhmad Sudrajat

BK dan MPMBS Salah satu issue penting tentang pendidikan saat ini berkenaan berkenaan dengan penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Dalam hal ini, tentunya konselor seyogyanya dapat memahami dan menangkap implikasinya bagi penyelenggaraan bimbingan dan konseling. Oleh karena itu, tulisan ini, akan dipaparkan secara ringkas dan sederhana tentang Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) dan Implikasinya terhadap Layanan Bimbingan dan Konseling.

Bahwa berangkat dari realita rendahnya kualitas pendidikan yang hampir terjadi di setiap jenjang dan satuan pendidikan, pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional telah menggulirkan kebijakan pola manajemen pendidikan baru yang di dalamnya memuat kewenangan yang luas kepada sekolah untuk mengatur dan mengendalikan sekolah, dengan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan langsung semua warga sekolah. Pola manajemen baru ini dikenal dengan istilah Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah atau disingkat MPMBS.

Sesungguhnya, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) ini memiliki ruang lingkup bahasan yang amat luas, baik dilihat dari segi konsep maupun implementasinya, sehingga tidak mungkin untuk dapat dipaparkan secara menyeluruh melalui tulisan ini. Oleh karena itu, dalam tulisan ini hanya akan dibicarakan hal-hal yang berkenaan dengan penyelenggaraan layanan bimbingan konseling di sekolah, diantaranya akan dikemukakan tentang : (1) Pemberdayaan dan Profesionalisme Konselor; (2) Akuntabilitas Kinerja Konselor; dan (3) Konselor Sebagai Agen Informasi

1. Pemberdayaan dan Profesionalisme Konselor

Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) ditandai dengan adanya perubahan manajemen dari pendekatan sentralistik-birokratik menuju desentralistik-profesional. Sebagaimana dimaklumi bahwa dalam pendekatan sentralistik-birokratik, konselor dalam melaksanakan tugasnya sudah ditentukan dan dipolakan sedemikian rupa oleh pusat, melalui berbagai bentuk aturan, ketentuan, petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis dan sebagainya. Akibatnya, ruang gerak konselor menjadi terbatasi, sehingga pada akhirnya konselor menjadi kurang terbiasa dengan budaya kreatif dan inovatif.

Aturan dan ketentuan yang kaku dan ketat telah menggiring dan memposisikan konselor pada iklim kerja yang tidak lagi didasari oleh sikap profesinal, namun justru lebih banyak sekedar menjalankan kewajiban rutin semata. Maka, muncullah berbagai sikap yang kurang menguntungkan, seperti : malas, masa bodoh dan tidak peduli terhadap prestasi kerja.

Dengan hadirnya Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), yang mengedepankan pendekatan desentralistik-profesional, maka ruang gerak konselor menjadi leluasa. Proses kreatif dan inovatif justru menjadi lebih utama. Konselor didorong untuk memiliki keberanian dan membiasakan diri untuk menemukan cara-cara baru yang lebih efektif dan efisien dalam melaksanakan berbagai kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling. Dengan kata lain, memasuki alam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), konselor dituntut bekerja secara profesional.

Dari sini, timbul pertanyaan hal-hal apa yang perlu disiapkan untuk menuju ke arah profesionalisme itu ? Dalam hal ini, tentu saja konselor seyogyanya dapat berusaha mengembangkan secara terus menerus kapasitas pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya, yang justru merupakan prasyarat untuk menjadi seorang profesional.

Konselor seyogyanya tidak merasa cepat berpuas diri dengan kapasitas pengetahuan dan keterampilan yang saat ini dimilikinya, namun justru harus senantiasa berusaha untuk memutakhirkan pengetahuan dan keterampilannya. Bagaimanapun, dalam era informasi sekarang ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bimbingan konseling dari waktu ke waktu berkembang secara sangat pesat. Sehingga seorang konselor dituntut untuk terus dapat mengantisipasi arah perkembangan yang terjadi, agar tidak menjadi terpuruk secara profesional.

Upaya peningkatan kapasitas pengetahuan dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung, bisa saja dilakukan melalui berbagai bacaan atau buku yang berhubungan dengan dunia bimbingan dan konseling, atau bahkan bila perlu dilakukan dengan cara melalui penjelajahan situs-situs dalam internet, yang memang banyak menyediakan berbagai informasi terkini, termasuk yang berhubungan dengan bimbingan dan konseling.

Sedangkan secara langsung, bisa dilakukan dengan cara melibatkan diri dalam berbagai aktivitas forum keilmuan, seperti : seminar, penataran dan pelatihan, atau mengikuti kegiatan MGP seperti sekarang ini. Bahkan, akan lebih baik jika timbul kemauan untuk berusaha menuntut ilmu melalui jenjang pendidikan formal.

Kita maklumi bahwa saat ini latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh konselor masih beragam, baik dilihat dari program studi/jurusan maupun jenjangnya. Bagi konselor yang berlatar belakang pendidikan program studi bimbingan, barangkali tidak ada salahnya untuk berusaha menempuh pendidikan lanjutan pada jenjang yang lebih tinggi. Sementara, bagi kawan-kawan konselor yang kebetulan bukan berlatar belakang pendidikan bimbingan, dalam rangka memantapkan diri sebagai konselor, tidak ada salahnya pula untuk mencoba terjun menekuni dunia akademis dalam bimbingan dan konseling. Sehingga pada gilirannya, dalam melaksanakan berbagai tugas bimbingan, konselor benar-benar telah ditopang oleh fundasi keilmuan yang mantap dan memadai.

Sedangkan untuk meningkatkan keterampilan berbagai teknik bimbingan, salah satu cara yang dipandang cukup efektif adalah dengan berusaha secara terus menerus dan seringkali mempraktekkan berbagai teknik yang ada. Misalkan, untuk menguasai teknik-teknik konseling, tentunya konselor harus mempraktekkan sendiri secara langsung, dan setiap setelah selesai mempraktekkan, diikuti dengan evaluasi terhadap apa yang telah dilakukan. Kemudian, membandingkannya dengan keharusan-keharusan berdasarkan teori yang ada, sehingga akan bisa diketahui kelemahan dan keunggulan dari praktek yang telah dilakukan. Memasuki tahap praktek konseling berikutnya tentunya sudah disertai usaha perbaikan, dengan bercermin dari kekurangan- kekurangan pada praktek konseling sebelumnya.

Hal ini secara terus menerus dilakukan dari satu praktek konseling ke praktek konseling berikutnya, dan sebaiknya disertai pula dengan pencatatan terhadap apa-apa yang telah dilakukan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan refleksi sekaligus sebagai bukti fisik dari usaha ilmiah. Berbekal kesabaran dan ketekunan, usaha ini niscaya pada akhirnya akan dapat mengantarkan sampai pada taraf yang dikehendaki. Walaupun demikian perlu dicatat, bahwa keleluasaan dalam menjalankan tugas ini tidak diartikan segala sesuatunya menjadi serba boleh, hal-hal yang menyangkut prinsip dan etika profesi bimbingan tetap harus dijaga dan dipelihara, sejalan dengan tuntutan profesionalisme.

2. Akuntabilitas Kerja Konselor

Pada masa sebelum diberlakukan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), akuntabilitas kerja konselor memang tidak jelas. Sekalipun ada, barangkali hanya sebatas di hadapan kepala sekolah ataupun pengawas sebagai petugas yang mewakili pihak pemerintah. Namun pada kenyataannya, seringkali kepala sekolah atau pengawas mengambil sikap permisif atas hasil kerja yang ditunjukkan konselor, padahal hasil kerja yang ditunjukkan sama sekali tidak bermutu. Akuntabilitas semacam ini tentunya tidak memberikan kontribusi bagi peningkatan kinerja dan produktivitas konselor.

Memasuki alam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), dengan sendirinya akuntabilitas konselor semakin luas, tidak hanya dihadapan kepala sekolah ataupun pengawas, namun mencakup seluruh pemegang saham (stake holder) dalam bidang pendidikan, terutama masyarakat dan orang tua siswa.

Bagaimanapun masyarakat, khususnya orang tua siswa telah rela berkorban mengeluarkan sejumlah dana untuk kepentingan pendidikan anaknya. Jadi wajar sekali, kalau saja mereka menuntut pertanggungjawaban kepada sekolah dan kepada konselor khususnya atas hasil-hasil kerja yang telah dilakukan, demi keberhasilan dan kemajuan peserta didik. Artinya, jumlah dana yang dikeluarkan oleh orangtua/masyarakat seyogyanya dapat sebanding dengan hasil yang dicapai, dalam bentuk kemajuan dan keberhasilan pendidikan anaknya di sekolah.

Dengan adanya akuntabilitas ini, jelas konselor dituntut untuk lebih meningkatkan mutu kinerja dan tingkat produktivitas dalam memberikan layanan bantuan terhadap para siswa. Jika hal ini tidak terpenuhi maka konselor harus bersiap-siap untuk menerima berbagai complain dari masyarakat yang mungkin tidak mengenakkan.

Apalagi dengan kehadiran Komite Sekolah yang dianggap sebagai lembaga yang mewakili kepentingan masyarakat, maka masyarakat akan jauh lebih terbuka dan leluasa untuk menyampaikan berbagai ketidakpuasan atas hasil-hasil kerja yang telah dicapai oleh konselor. Tentu saja, kita tidak menghendaki hal-hal seperti itu. Tak ada cara lain untuk mengantisipasinya, kecuali dengan menunjukkan bukti-bukti nyata atas segala hasil kerja kita. Manakala kita telah berhasil membuktikan hasil-hasil kerja yang menggembirakan dan memberi kepuasan kepada masyarakat, bersamaan itu pula akan tumbuh kepercayaan terhadap sekolah, khususnya kepada bimbingan dan konseling. Dan pada gilirannya, tidak akan ada keraguan lagi dari masyarakat untuk memberikan dukungan penuh terhadap sekolah, khususnya kepada bimbingan dan konseling untuk terus melaksanakan kiprahnya. Dalam hal ini, berapa besar dana yang harus dikeluarkan tidak lagi menjadi persoalan besar, yang penting prestasi anak benar-benar dapat terwujudkan dengan baik, baik dalam akademik maupun non-akademik

3. Konselor Sebagai Agen Informasi

Penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) ditandai dengan adanya kewenangan sekolah dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu, konselor seyogyanya dapat berusaha melibatkan diri dalam berbagai proses pengambilan keputusan.

Karena, bagaimanapun konselor bisa dianggap sebagai “orang yang paling banyak tahu” tentang keadaan siswanya secara personal. Dengan kata lain, konselor dianggap sebagai orang yang memiliki informasi atau data tentang siswa yang lebih lengkap dan memadai. Informasi atau data tentang siswa ini ini sangat berguna dan dapat dijadikan dasar untuk berbagai pengambilan keputusan sekolah yang berkenaan dengan siswa. Oleh sebab itu, informasi harus diadministrasikan sedemikian rupa dan siap saji (ready for use), kapan saja diperlukan. Bahkan bila perlu, pengadminstrasian informasi ini dilakukan secara computerize, karena saat ini telah dikembangkan berbagai software, yang berhubungan dengan data siswa, seperti Program DataSis dan Program Alat Ungkap Masalah (AUM) yang dikembangkan Prof. Dr. Prayitno. Atau secara kreatif, konselor dapat menciptakan berbagai software tentang bimbingan dan konseling sesuai dengan kebutuhan kerja, yang sekiranya dapat membantu mempermudah pengadministrasian dan penyajian data. Dengan sendirinya, dalam hal ini konselor dituntut untuk memahami dan menguasai teknologi komputer.

Hal yang perlu dicermati, bahwa dalam mengkomunikasikan informasi tentang siswa kepada pihak-pihak terkait, seperti kepala sekolah, dewan sekolah atau siapa pun, konselor harus dapat memilah dan memilih jenis informasi apa saja yang boleh dan tidak tidak boleh untuk disampaikan. Tentu saja, informasi-informasi yang berkenaan dengan “ prinsip kerahasiaan klien “ harus tetap dijaga sebaik mungkin.

Dalam mengkomunikasikan informasi-informasi tentang siswa, yang berkaitan dengan proses pengambilan keputusan, khususnya dalam forum Komite Sekolah, konselor hendaknya dapat menyampaikan pandangan-pandangannya secara tegas, yang berpihak pada kepentingan siswa itu sendiri. Walau pun mungkin akan didapatkan berbagai benturan sosial di dalamnya, karena pemahaman dan persepsi anggota Komite Sekolah tentang bimbingan dan konseling akan sangat beragam bahkan mungkin sangat kurang.

Satu hal lagi bahwa dalam penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), upaya meningkatkan kuantitas dan kualitas layanan bimbingan ini konselor hendaknya memperhatikan pengembangan kerja sama, koordinasi dan sinergis kerja dengan berbagai komponen pendidikan lainnya. Karena dalam penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), keberhasilan pendidikan di sekolah tidak lagi didasarkan pada individual yang cerdas, akan tetapi sangat mengutamakan pada team work yang cerdas dan kompak. Untuk itulah, konselor sedapat mungkin harus menjadi bagian utama dari team work tersebut.

Demikianlah, uraian sederhana yang dapat saya sampaikan dan semoga bermanfaat adanya, khususnya bagi kemajuan dan peningkatan mutu layanan konseling di sekolah.

Sumber bacaan :

Dedi Suriyadi, Prof. Dr., (2001), Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Implikasinya Terhadap Peningkatan Mutu Konselor, Makalah , Jurusan PPB-FIP UPI Bandung-ABKIN Pengda Jawa Barat : Bandung.

Departemen Pendidikan Nasional (2001) Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Buku 1 Konsep dan Pelaksanaan, Departemen Pendidikan Nasional, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama : Jakarta

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,(1994), Kurikulum Sekolah Menengah Umum (SMU), Petunjuk Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Depdikbud Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah

Prayitno dan Erman Anti, (1995), Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta : P2LPTK Depdikbud

Seri Pemandu Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di Sekolah,(1995), Pelayanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah Umum (SMU) Buku IV, Jakarta : IPBI

Tim Instruktur Bimbingan dan Konseling Kanwil Propinsi Jawa Barat , (1997), Materi Sajian Penataran Konselor SMU Propinsi Jawa Barat Tahun 1997, Dekdikbud Kanwil Propinsi Jawa Barat : Bandung

Winkel, W.S. (1991), Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Jakarta : Gramedia

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com